Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Mengelola Amanah Bumi: Antara Keberlanjutan Hijau dan Gemerlap Energi

266
×

Mengelola Amanah Bumi: Antara Keberlanjutan Hijau dan Gemerlap Energi

Share this article

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-Qashash: 77).

ppmindonesia.com, Jakarta– Ayat ini mengandung perintah tegas kepada manusia untuk tidak menjadi bagian dari terjadinya kerusakan di bumi. Perintah ini menjadi landasan moral yang telah mendorong berbagai upaya pelestarian bumi dan lingkungan hidup di berbagai belahan dunia. Namun, perjalanan mewujudkan pesan ini tak selalu berjalan mulus karena kehadiran manusia yang masih terjebak pada keserakahan terhadap kekayaan alam, mengorbankan kelestarian lingkungan untuk keuntungan jangka pendek.

Kesadaran dan Realitas Pengelolaan Bumi

Kehadiran kementerian lingkungan hidup di hampir setiap negara menjadi bukti bahwa isu kerusakan bumi telah menjadi perhatian global. Berbagai kebijakan dibuat untuk mengatasi tantangan seperti efek rumah kaca, polusi, dan deforestasi. Upaya ini didasari kesadaran bahwa generasi mendatang harus menerima bumi dalam kondisi layak huni. Namun, apakah upaya ini sepenuhnya dilandasi oleh nilai-nilai spiritual atau sekadar tuntutan hidup semata masih menjadi pertanyaan yang sulit dijawab.

Di balik langkah-langkah ini, terdapat dua pendekatan utama dalam pengelolaan kehidupan di bumi: pendekatan serba hijau (ashhabul jannah) dan pendekatan serba energi (ashhabun naar). Keduanya mencerminkan dua jalan yang berbeda, bahkan bertolak belakang, dalam cara manusia memanfaatkan sumber daya bumi dan membangun peradabannya.

Ashhabul Jannah: Keberlanjutan Hijau

Ashhabul jannah, atau komunitas kebun hijau, merujuk pada pola kehidupan yang selaras dengan alam. Dalam pendekatan ini, manusia menjaga kelestarian lingkungan dengan menanamkan nilai harmoni, keberlanjutan, dan solidaritas. Dunia yang dibangun melalui pendekatan ini akan mewariskan bumi yang asri, dengan bentang pantai yang hijau dan daratan yang terus berkembang subur. Dalam pendekatan ini, eksploitasi dan eksplorasi sumber daya tidak dilakukan secara serampangan.

Komunitas ini tumbuh dengan landasan peradaban yang mengedepankan kedamaian, kebersamaan, dan saling memberi kesempatan. Nilai-nilai luhur ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an dalam QS. Ar-Rum: 28, yang mengajarkan agar manusia mencemaskan orang lain sebagaimana mencemaskan dirinya sendiri. Dengan demikian, kehidupan manusia dalam pendekatan ini jauh dari persaingan tak sehat, ambisi berlebihan, dan kerakusan terhadap sumber daya alam.

Ashhabun Naar: Gemerlap Energi

Sebaliknya, ashhabun naar, atau komunitas energi, mengusung tata kelola yang berbasis eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam pendekatan ini, daya atau kekuatan menjadi kunci utama, sebagaimana isyarat Al-Qur’an dalam QS. Ar-Rahman: 33, bahwa manusia tidak akan mampu menembus batas langit dan bumi kecuali dengan sulthan (kekuatan atau daya).

Komunitas ini mengembangkan dunia yang gemerlap dengan industrialisasi, memukau dalam teknologi dan pencapaian material, tetapi mengorbankan kelestarian alam. Eksploitasi besar-besaran membuat bumi kering, panas tak terkendali, dan bahkan berpotensi terbakar. Kekhawatiran ini membuat mereka mulai mempersiapkan kolonisasi planet lain sebagai langkah antisipasi.

Namun, sebagaimana diingatkan Al-Qur’an dalam QS. Hud: 15-16 dan QS. An-Najm: 29-30, mereka yang hanya menghendaki kehidupan dunia akan terjebak dalam sistem yang penuh kekerasan dan kehilangan keadaban. Kehidupan semacam ini tidak mungkin membawa manusia menuju eksistensinya yang agung sebagai khalifah di bumi.

Pilihan Masa Depan: Hijau atau Energi?

Pada akhirnya, manusia dihadapkan pada pilihan besar: apakah akan mengikuti jejak ashhabul jannah dengan menjaga harmoni alam atau ashhabun naar yang memprioritaskan eksploitasi energi. Kedua sistem ini membawa konsekuensi berbeda. Sistem hijau menawarkan peradaban yang damai dan berkelanjutan, sementara sistem energi, meski terlihat menjanjikan secara material, berpotensi meninggalkan kerusakan besar bagi bumi dan generasi mendatang.

Al-Qur’an mengingatkan bahwa segala yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia (QS. Ali ‘Imran: 191). Sebagai pemegang amanah kekhalifahan, manusia dituntut untuk menemukan manfaat dari segala ciptaan Allah dan memastikan keberlanjutannya. Oleh karena itu, sudah saatnya anggaran besar untuk alat perang dialihkan ke penelitian dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan, demi mewujudkan bumi yang lebih baik.

Larangan untuk tidak merusak bumi (QS. Al-Qashash: 77) menjadi tantangan sekaligus panggilan bagi umat manusia untuk menentukan arah peradabannya. Apakah kita memilih keberlanjutan hijau yang membawa kedamaian dan kelestarian, atau gemerlap energi yang menjanjikan kepuasan sesaat tetapi meninggalkan kehancuran? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang dan bagaimana kita diingat sebagai penghuni bumi.(husni fahro)

Example 120x600