Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Makhluk Bersayap, Koloni Bertauhid: Tafakur atas Semut dalam Al-Qur’an

91
×

Makhluk Bersayap, Koloni Bertauhid: Tafakur atas Semut dalam Al-Qur’an

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

foto (freepik.com)

ppmindonesia.com .Jakarta – Di bawah kaki manusia yang sibuk menatap langit dan mengejar dunia, hidup sebuah bangsa kecil yang tertib, tekun, dan penuh keajaiban. Mereka adalah semut—makhluk mungil bersayap yang hidup dalam koloni terorganisasi, bekerja tanpa pamrih, dan berbagi peran dalam harmoni yang jarang dijumpai di dunia manusia.

Apa yang istimewa dari semut? Banyak. Namun yang paling mencengangkan adalah bahwa mereka termasuk umat. Bukan sekadar kumpulan hewan. Allah Swt. berfirman:

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ۝٣٨

 “Dan tidak ada seekor binatang pun di bumi dan tidak (pula) seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat (juga) seperti kamu…” (Q.S. Al-An’am: 38)

Ayat ini menyiratkan bahwa semut, dan seluruh makhluk bersayap lainnya, memiliki komunitas, sistem, dan bahkan takdir di hadapan Tuhan. Mereka adalah bagian dari lanskap kehidupan yang bertauhid.

Kecanggihan Koloni yang Tak Terlihat

Dengan sekitar 10.000 spesies, semut mendiami hampir seluruh permukaan bumi. Fosil mereka ditemukan sejak 100 juta tahun silam, dan menakjubkannya, morfologi tubuh semut saat ini nyaris tak berubah—pertanda bahwa sistem mereka sudah sedemikian sempurna sejak awal penciptaan.

Koloni semut terdiri dari ratu, jantan, dan para pekerja betina. Ratu bertugas melahirkan generasi baru, sementara pekerja menangani seluruh aspek kehidupan koloni: merawat larva, mencari makanan, membangun sarang, hingga menjaga kebersihan dan pertahanan.

Berbeda dari lebah, semut dilahirkan untuk satu tugas sepanjang hidupnya. Mereka tidak berpindah peran. Seorang semut perawat akan seumur hidupnya menjaga larva dengan ketelitian yang luar biasa—memindahkannya dari ruang hangat di siang hari ke ruang sejuk di malam hari, menjilati dan membersihkan tubuh mereka dari bakteri.

Semut pengumpul dapat membawa beban 50 kali berat tubuhnya, bahkan berjalan ratusan meter untuk membawa sebutir biji kembali ke sarang. Sungguh, daya tahan dan dedikasi yang luar biasa dari makhluk sekecil itu.

Makhluk Kecil, Ayat yang Besar

Yang paling menakjubkan, Al-Qur’an tidak hanya mengakui keberadaan semut, tetapi juga menempatkannya dalam wahyu ilahi, dalam kisah indah tentang Nabi Sulaiman a.s.:

حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ۝١٨فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا…. ۝١٩

 “Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut betina: ‘Wahai semut-semut, masuklah ke tempat tinggalmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak menyadari!’ Maka dia

Dua hal penting terlihat di sini: pertama, semut memiliki bahasa komunikasi yang dipahami oleh manusia pilihan Allah; dan kedua, Al-Qur’an menggunakan bentuk kata feminin (qālat namlah)—sebuah presisi linguistik yang baru terbukti secara ilmiah di era modern, bahwa semut pekerja memang semuanya betina.

Fakta ini tidak diketahui oleh peradaban manapun di abad ke-7. Sementara kitab suci sebelumnya seperti Perjanjian Lama pun menyebut semut dalam nada moral:

 “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: yang tiada pemimpin, pengatur atau penguasa, namun ia menyediakan makanannya di musim panas dan mengumpulkan bekalnya pada waktu panen.” (Amsal 6:6–8)

Namun tidak ada referensi biologis seakurat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Inilah salah satu aspek keajaiban wahyu: bukan sekadar menginspirasi moralitas, tapi juga mengungkap kebenaran tersembunyi.

Tafakur atas Tatanan Tauhid dalam Koloni

Ketika kita mengamati kehidupan semut, ada nilai-nilai ketauhidan yang memancar. Semut bekerja tanpa pamrih untuk koloni, bukan demi individualisme. Mereka tunduk pada hukum naluri yang telah Allah tanamkan—tidak melanggar peran, tidak mencuri tugas, dan tidak mendominasi.

Tiap individu bekerja demi kebaikan bersama. Tidak ada yang menjadi “raja” atas yang lain, kecuali ratu dalam fungsi reproduksi. Bahkan ratu pun tidak memerintah, ia bertelur tanpa henti untuk memastikan kelangsungan hidup koloni. Tidak ada birokrasi. Tidak ada kemalasan. Tidak ada iri.

Bukankah ini cerminan masyarakat yang bertauhid? Yang bekerja dalam sistem, mengakui tugas masing-masing, saling menopang, dan tidak mengklaim kelebihan kecuali sebagai amanah?

Maka benar apa yang disabdakan Allah:

وَالْاَرْضَ وَضَعَهَا لِلْاَنَامِۙ ۝١٠فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّالنَّخْلُ ذَاتُ الْاَكْمَامِۖ ۝١١وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُۚ ۝١٢فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ ۝١٣

Bumi telah Dia bentangkan untuk makhluk(-Nya)(10)Padanya terdapat buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang,(11)biji-bijian yang berkulit, dan bunga-bunga yang harum baunya.(12)Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan (wahai jin dan manusia)?(13) (Q.S. Ar-Rahman: 10, 13)

Akhirnya, Pelajaran dari Semut

Semut mengajarkan kita tentang ketaatan, pengabdian, kerja kolektif, dan kejujuran dalam peran. Mereka bukan hanya hewan kecil, tapi ayat hidup yang berjalan di bumi. Tafakur atas semut adalah tafakur atas keteraturan ciptaan Allah, dan sekaligus introspeksi atas kekacauan sosial manusia.

Sudah seharusnya kita bertanya:

Jika semut saja bisa bertauhid melalui sistem hidupnya,

mengapa manusia yang diberi akal justru sering lalai dari tauhid? (emha)

Referensi;

 

Example 120x600