ppmindonesia,om.Bekasi – Kegelisahan yang tak pernah usai dari zaman ke zaman adalah bagaimana manusia menyesuaikan disiplin tubuhnya dengan perubahan kondisi dunia yang terus berlari: teknologi melesat, iklim berubah, rekayasa genetika mengguncang batas kodrat, dan kesadaran manusia mengalami redefinisi radikal.
Paradigma manusia tak hanya membentuk zaman, tapi juga dibentuk ulang olehnya. Maka, muncul kebutuhan mendesak untuk merumuskan ulang bagaimana tubuh dan kesadaran manusia mendisiplinkan diri—bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk hidup selaras dengan jagat raya dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling hakiki.
Personality Training 1.0: Harmoni Awal Manusia dan Alam
Kita bisa menelusuri akar dari usaha ini pada era phusikoi—para filsuf alam pra-Sokrates yang berupaya memahami semesta tanpa mitos dan dogma. Tokoh-tokoh seperti Thales, Anaximander, hingga Demokritos mencoba merumuskan prinsip dasar realitas: air, udara, atom, atau elemen-elemen dasar lain sebagai landasan eksistensi.
Tubuh manusia pada era ini adalah bagian dari alam; disiplin tubuh adalah upaya menyelaraskan diri dengan logos alam. Inilah bentuk paling awal dari Personality Training 1.0—manusia sebagai bagian dari kosmos.
Personality Training 2.0: Dialektika dan Logika
Era Socrates, Plato, dan Aristoteles memperkenalkan cara baru dalam menata tubuh dan pikiran: lewat dialektika, observasi, dan logika sistematis. Akademia dan Lyceum menjadi model pendidikan holistik: tubuh, jiwa, dan akal dirangkai dalam keharmonisan etis.
Manusia diajak menjelajah ide, keadilan, dan substansi dengan kedalaman metafisik dan ketelitian ilmiah. Inilah fondasi Personality Training 2.0—kesadaran melalui rasionalitas dan pembentukan karakter melalui logos dan etika.
Personality Training 3.0: Tubuh, Kekuasaan, dan Pengetahuan
Abad Pertengahan menjadi panggung pertarungan antara tubuh, pengetahuan, dan kekuasaan. Agama, mitos, dan tradisi melingkupi tubuh manusia dengan disiplin rohani dan sosial yang ketat.
Namun, sekaligus menjadi lahan bagi perjumpaan budaya, terjemahan karya besar, dan pergulatan intelektual lintas peradaban. Di sini, tubuh bukan lagi bagian dari alam, melainkan medan kekuasaan. Inilah wajah Personality Training 3.0—disiplin tubuh melalui iman dan otoritas.
Personality Training 4.0: Tubuh dalam Labirin Sains
Kemenangan rasionalitas di era modern memperkenalkan model manusia sebagai mesin berpikir. Pikiran dan tubuh diperlakukan sebagai sistem mekanistik yang dapat didefinisikan lewat aksioma, teorema, dan postulat.
Pengalaman manusia dikurung dalam rumus dan struktur logis. Di sini, tubuh menjadi objek analisis, bukan subjek eksistensial. Personality Training 4.0 lahir dari revolusi ilmu dan semangat pencarian kebenaran absolut.
Personality Training 5.0: Manusia sebagai Mesin Industri
Revolusi industri dan modernitas mengubah tubuh menjadi bagian dari mesin produksi. Nilai manusia ditakar lewat produktivitas, efisiensi, dan keterukuran. Pendidikan diarahkan untuk mencetak manusia industri: cepat, tanggap, dan terampil.
Tubuh dikondisikan untuk tunduk pada ritme kerja dan standar kapitalistik. Di sinilah Personality Training 5.0 mengambil bentuknya—disiplin tubuh demi efisiensi ekonomi dan sistem.
Personality Training 6.0: Tubuh di Tengah Kekacauan Diskursus
Era postmodern menggugat seluruh narasi besar dan membuka banjir diskursus baru. Tubuh manusia tak lagi punya satu identitas tunggal. Ia adalah medan representasi, simbol, dan resistensi.
Para pemikir seperti Foucault, Derrida, Lyotard, Deleuze hingga Baudrillard membongkar tatanan lama: antara kekuasaan, identitas, makna, dan realitas. Tubuh manusia di sini adalah arena pertarungan antara simulakra dan keinginan. Maka lahirlah Personality Training 6.0—kesadaran akan keberlimpahan makna, tetapi juga keterpecahan identitas.
Personality Training 7.0: Mencari Jalan di Masa Post-Normal
Kini, kita hidup dalam era yang disebut Ziauddin Sardar sebagai Post-Normal Times—zaman sesudah normal. Di sini, kepastian runtuh, teori-teori usang dikutip ulang tanpa daya cipta, dan para intelektual terjebak sebagai pengumpul serpihan masa lalu.
Kebenaran menjadi relatif, kebingungan menjadi konstan, dan manusia terasing bahkan dari pikirannya sendiri. Agama dijadikan alat politik, demokrasi jadi kedok kekuasaan, teknologi berubah menjadi instrumen percepatan kehancuran.
Inilah saatnya kita menciptakan Personality Training 7.0—suatu lompatan peradaban yang tidak sekadar melanjutkan narasi lama yang telah gagal.
Dibutuhkan pendekatan baru yang memulihkan relasi tubuh dengan kesadaran, merekatkan kembali manusia dengan nilai-nilai autentik, dan mengembangkan formula pendidikan serta pembentukan diri yang berpijak pada keberanian moral, kepekaan spiritual, dan tanggung jawab ekologis.
Personality Training 7.0 bukan hanya disiplin tubuh, tetapi juga disiplin makna. Bukan hanya pembangunan karakter, tetapi juga pembebasan dari struktur yang memanipulasi. Ia adalah jalan vital untuk membuka cakrawala baru kemanusiaan—bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menyelamatkan masa depan.(lalu pharmanegara)