Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ibrahim: Menjadi Imam dalam Ujian dan Tauhid

4
×

Ibrahim: Menjadi Imam dalam Ujian dan Tauhid

Share this article

Punulis : husni fahro| Edditor; asyary

ppmindonesia.com. Jakarta Dalam sejarah kenabian, tidak banyak sosok yang dipuji oleh berbagai tradisi keagamaan besar seperti Nabi Ibrahim ‘alayhis-salām. 

Ia menjadi figur sentral dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, namun hanya dalam Al-Qur’an kita menemukan potret lengkapnya sebagai imam bagi umat manusia—seorang yang teruji secara spiritual, rasional, dan sosial.

Al-Qur’an tidak mengangkat Ibrahim semata karena nasab atau status sosialnya, tetapi karena keteguhan imannya yang terbukti dalam ujian-ujian nyata. Allah berfirman:

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًاۗ… ۝١٢٤

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia melaksanakannya dengan sempurna. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia.’”  (Q.S. Al-Baqarah: 124)

Ayat ini tidak hanya menandai anugerah, tetapi juga pengakuan atas proses perjuangan. Dalam Islam, kepemimpinan (imamah) bukan hasil warisan, melainkan buah dari integritas, keberanian, dan kepatuhan total kepada kehendak Ilahi.

Keberanian Menentang Kesesatan

Salah satu hal paling menonjol dari Ibrahim adalah ketegasannya dalam menghadapi arus kepercayaan masyarakat, bahkan terhadap ayahnya sendiri. Dalam Q.S. Al-Ankabut: 17, ia menyeru:

اِنَّمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْثَانًا وَّتَخْلُقُوْنَ اِفْكًاۗ…۝١٧

“Sesungguhnya kamu hanya menyembah berhala selain Allah dan kamu membuat kebohongan…”

Ibrahim tidak berkompromi dengan kesesatan, bahkan rela berhadapan dengan kekuasaan represif Raja Namrud. Dalam narasi yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir, Ibrahim dihukum dibakar hidup-hidup, namun Allah berfirman kepada api:

قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَۙ ۝٦٩

“Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”  (Q.S. Al-Anbiya: 69)

Inilah simbol bahwa keteguhan iman akan selalu memperoleh perlindungan ilahiyah, walau tantangan duniawi tampak menakutkan.

Membangun Landasan Tauhid dan Peradaban

Tidak berhenti pada kritik sosial dan spiritual, Ibrahim melangkah lebih jauh: membangun peradaban tauhid bersama putranya, Ismail. Mereka berdua meninggikan fondasi Baitullah:

وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّاۗ …۝١٢٧

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail seraya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan ini).’”
(Q.S. Al-Baqarah: 127)

Pembangunan Ka’bah bukan hanya proyek arsitektur, tetapi landasan spiritual bagi jutaan manusia yang kelak berhaji dari seluruh penjuru dunia. Ini menegaskan bahwa Ibrahim bukan hanya nabi atau pemikir, tetapi juga arsitek masyarakat tauhid yang nyata.

Kepemimpinan yang Mendidik dan Mewariskan

Keimaman Ibrahim juga ditandai oleh tanggung jawab antar-generasi. Ia bukan sekadar sosok saleh pribadi, tetapi juga pendidik dan pewaris nilai-nilai iman bagi keturunannya:

وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَۗ ۝١٣٢

“Dan Ibrahim mewasiatkan (agama ini) kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub: ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.’”  (Q.S. Al-Baqarah: 132)

Dalam catatan Syekh Muhammad Abduh, “Ibrahim memahami bahwa peradaban tidak cukup hanya dengan membangun tempat suci, tetapi harus ditopang oleh generasi yang mewarisi nilai dan semangatnya.”

Ibrahim dalam Perspektif Modern

Sosok Ibrahim relevan hingga hari ini, terutama saat dunia modern menghadapi krisis integritas moral dan spiritual. Seorang filsuf Muslim kontemporer, Fazlur Rahman, menulis:

“Ibrahim adalah figur yang menunjukkan bahwa iman harus disertai dengan penalaran, keberanian moral, dan pengabdian sosial. Ia adalah puncak integrasi antara tauhid dan kemanusiaan.”

Imam tidak lahir dari panggung seremonial, tapi dari kesanggupan menanggung ujian, menantang kemapanan, dan menata arah hidup masyarakat menuju Tuhan.

Meneladani Ibrahim di Tengah Zaman Kekosongan Makna

Di tengah derasnya arus materialisme dan keraguan terhadap nilai-nilai transenden, umat Islam perlu meneladani jiwa kritis dan hati tunduk yang dimiliki Ibrahim. Dialah figur yang menyeimbangkan iman dan rasio, perjuangan dan kasih sayang, tauhid dan peradaban.

Tidak berlebihan jika Allah menyebut Ibrahim sebagai:

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ ۝١٢٠

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat, patuh kepada Allah, hanif, dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
(Q.S. An-Nahl: 120)

Menjadi imam, dalam konteks Ibrahim, bukanlah soal posisi atau pengaruh, tetapi tanggung jawab spiritual untuk memimpin umat menuju cahaya kebenaran—sebuah warisan abadi yang tak lekang oleh zaman. (husni fahro)

Example 120x600