ppmindonesia.com, Jakarta–Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, menjadikan leuit atau lumbung padi sebagai simbol ketahanan pangan warganya. Leuit dijadikan simbol ketahanan pangan karena bangunan ini menjadi tempat penyimpanan hasil bumi oleh masyarakat Baduy.
“Kalau orang Baduy biasanya menyimpan padi di leuit. Jadi hampir semua warga Baduy itu pasti punya (leuit),” kata Saidam, seorang warga Baduy Luar.
Suku Baduy sangat jarang berinteraksi dengan masyarakat di luar Baduy, terutama masyarakat Baduy Dalam. Segala kebutuhan pangan mereka ditopang dari hasil tanah mereka sendiri tanpa memerlukan bantuan dari luar wilayah Baduy. Oleh sebab itu, suku Baduy menyimpan kebutuhan pangannya di leuit.
Leuit memiliki bentuk seperti rumah panggung yang ditopang oleh empat kayu penyangga dengan tinggi sekitar satu sampai dua meter dari atas tanah.
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk Leuit adalah bambu yang dianyam dan atap yang terbuat dari daun sago kirai. Suku Baduy biasanya membuat leuit untuk menyimpan sekitar 500 hingga 1.000 ikat padi, di mana setiap ikat setara dengan tiga kilogram beras.
Suku Baduy mengembangkan sistem bercocok tanam padi huma (sawah kering) yang masa panennya membutuhkan waktu 5 hingga 6 bulan. Hasil panen tersebut kemudian disimpan di leuit. Menurut kepercayaan suku Baduy, leuit bisa bertahan cukup lama serta terbebas dari tikus karena dibuat menggunakan bahan-bahan dari alam dan tidak menggunakan paku atau papan.
Petani masyarakat Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak juga mengembangkan tanaman padi huma di lahan-lahan milik Perum Perhutani maupun dengan menyewa tanah milik orang lain.
Selama ini, masyarakat Baduy belum pernah terancam kelaparan atau kerawanan pangan karena hasil produksi beras dari bercocok tanam padi huma melimpah dan surplus. Hasil panen padi huma tersebut tidak dijual, melainkan disimpan di leuit untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Menurut Kepala Adat sekaligus Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Saija, saat ini masyarakat Baduy belum pernah mengalami kerawanan pangan karena setiap panen padi huma disimpan di leuit. Saat ini, jumlah lumbung pangan tercatat sebanyak 405 leuit, dengan masing-masing leuit mampu menampung gabah antara empat hingga lima ton.
Masyarakat Baduy tinggal di tanah ulayat seluas 5.100 hektare, di mana 3.000 hektare di antaranya adalah hutan lindung yang terlarang menjadi lahan pertanian.
Oleh karena itu, mereka hanya bisa menggarap lahan seluas 2.100 hektare, yang dinilai kurang sehingga perlu penambahan lahan pertanian. Pada tahun 2012, masyarakat Baduy membeli tanah di luar kawasan tanah hak adat ulayat sekitar 900 hektar.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lebak, Dede Supriatna, mengatakan prinsip masyarakat Baduy yang diwariskan dari nenek moyang selama ini mampu menata produksi pangan dengan baik.
Masyarakat Baduy mempertahankan pangan dengan bercocok tanam padi huma di lahan darat tanpa menggunakan pupuk kimia. Bahkan, produksi pangan di kawasan Baduy surplus dan melimpah karena sebagian gabah disimpan di leuit.
Masyarakat Baduy adalah masyarakat sederhana yang hidup dengan tatanan lokal yang membuat mereka hidup teratur selama ratusan tahun. Mereka hidup harmonis berdampingan dengan alam dan sesama manusia.
Sistem bercocok tanam dan pengelolaan hasil panen dari masyarakat Baduy terbukti telah menjaga kedaulatan pangan dan ketahanan pangan bagi masyarakat Baduy itu sendiri.
Kontribusi pelestarian alamnya juga dirasakan oleh masyarakat di luar Baduy. Oleh karena itu, menggali kearifan lokal terkait ketahanan pangan di masyarakat Baduy menjadi penting untuk dijadikan pertimbangan dalam menjawab tantangan ketahanan pangan nasional.(ppm)
Referensi: