ppmindonesia.com, Jakarta-Dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Insan (76:2-4), manusia dijelaskan sebagai makhluk yang diciptakan dari “nuthfatin amsaaj” (setetes mani yang bercampur), kemudian diberi pendengaran dan penglihatan sebagai bekal menghadapi ujian kehidupan. Ujian ini menentukan apakah manusia akan menjadi sosok yang bersyukur atau kufur.
Untuk membentuk manusia yang bersyukur, Al-Qur’an memberikan tiga pilar penting sebagai petunjuk, yakni:
- Membaca Kitab dengan Pemahaman Mendalam (Yatluunahu Haqqa Tilawatihi) – Q.S. Al-Baqarah (2:121)
Pilar pertama menegaskan pentingnya memahami Al-Qur’an secara logis. Orang yang beriman adalah mereka yang membaca kitab suci dengan telaah yang logis dan kritis. Al-Qur’an dalam Surah Ali-Imran (3:79) menyatakan bahwa mereka yang benar-benar bertuhan adalah mereka yang mempelajari dan mengajarkan kitab tersebut. Ini menunjukkan bahwa keimanan tidak bisa dipisahkan dari pemahaman yang mendalam atas ajaran Al-Qur’an. - Berjuang di Jalan Allah dengan Sungguh-Sungguh (Jaahiduu Fillahi Haqqa Jihaadihi) – Q.S. Al-Hajj (22:78)
Pilar kedua mengajak umat untuk bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan ajaran Islam dengan kesungguhan yang logis. Kesungguhan tanpa pemahaman tidak akan membawa manusia pada jalan yang benar. Sebagai contoh, orang yang membaca Al-Qur’an dengan penuh kesungguhan namun tidak memahami maknanya hanya akan berakhir pada usaha yang tidak logis. Oleh karena itu, kesungguhan harus selalu dibarengi dengan pemahaman yang mendalam. - Bertaqwa dengan Sebenar-Benarnya (Ittaqullaha Haqqa Tuqaatihi) – Q.S. Ali-Imran (3:102)
Pilar terakhir mengajak umat Islam untuk mencapai tingkat ketakwaan yang sejati. Ketakwaan dalam Islam tidak sekadar ucapan, melainkan harus diwujudkan melalui tindakan nyata yang berdasarkan pemahaman dan kesungguhan. Al-Qur’an menjelaskan bahwa ketakwaan yang sejati adalah hasil dari jalan hidup yang sepenuhnya mengikuti petunjuk Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Al-An’am (6:153), yaitu dengan mengikuti shirath Allah.
Kunci Kesuksesan: Berpikir Kritis dan Menghindari Kekafiran
Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya berpikir kritis. Dalam Q.S. Al-Anfal (8:22), manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir disebut sebagai makhluk yang paling hina, bahkan lebih rendah dari binatang. Hal ini kembali ditegaskan dalam Q.S. Al-A’raf (7:179), yang menyatakan bahwa manusia yang tidak berpikir lebih hina dari binatang. Maka, berpikir secara logis dan kritis menjadi keharusan bagi umat manusia untuk menghindari kekafiran.
Allah juga menegaskan dalam Q.S. Muhammad (47:24) bahwa mereka yang tidak memikirkan Al-Qur’an adalah orang-orang yang hatinya terkunci. Padahal, Allah telah memudahkan Al-Qur’an untuk dipahami, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Qamar (54:17). Logisnya, jika Allah sudah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu mudah, maka orang yang mengatakan Al-Qur’an sulit dipahami seolah-olah membantah pernyataan Allah.
Kesungguhan yang Logis dalam Beragama
Tidak ada kesulitan dalam beragama jika seseorang mengikuti ajaran Allah dengan logis dan sungguh-sungguh, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Hajj (22:78). Namun, banyak kesungguhan yang tidak logis, misalnya membaca Al-Qur’an tanpa memahami isinya. Kesungguhan semacam ini tidak memberikan manfaat bagi umat, karena inti dari kesungguhan beragama adalah memahami dan mengamalkan ajaran Allah secara logis.
Ketika umat tidak menggunakan kesungguhan yang logis, ajaran agama dapat terdistorsi. Misalnya, dalam Q.S. Ali-Imran (3:19), dinyatakan bahwa agama di sisi Allah adalah Islam. Ajaran agama yang benar adalah yang datang dari Allah, dan segala ajaran yang tidak berasal dari-Nya tidak bisa diakui sebagai Islam. Sayangnya, banyak ajaran yang bukan dari Allah masih diakui dan ditegakkan sebagai ajaran Islam, sehingga memicu kebingungan dan perselisihan di kalangan umat.
Menjaga Kesatuan Umat dan Menolak Fitnah
Perpecahan dalam umat adalah salah satu bentuk fitnah terbesar yang harus dihindari. Dalam Q.S. Al-An’am (6:153), Allah memperingatkan bahwa mengikuti ajaran selain dari-Nya akan menyebabkan tafarruq (perpecahan). Rasulullah dan orang-orang beriman dilarang untuk menjadi bagian dari perpecahan ini, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Rum (30:31-32). Umat yang terpecah, menurut Al-Qur’an, dianggap sebagai orang-orang musyrik (penyekutuan), yang dilarang memasuki Masjidil Haram (Q.S. At-Taubah, 9:28).
Penutup: Pilar Ketakwaan Berdasarkan Al-Qur’an
Untuk menjadi manusia yang bertakwa dan bersyukur, setiap muslim harus menempuh tiga pilar penting ini: membaca Al-Qur’an dengan telaah yang logis, bersungguh-sungguh dalam perjuangan agama, dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Umat Islam harus menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam setiap langkah hidupnya, mengikuti apa yang diturunkan Allah dan menjauhi segala bentuk ajaran yang menyimpang dari-Nya. Dengan cara ini, manusia dapat menghindari fitnah, menjaga kesatuan umat, dan mencapai ketakwaan yang sejati.(husni Fahro)