ppmindonesia.com, Jakarta-Dalam ajaran Islam, solidaritas sosial menempati posisi yang sangat penting. Salah satu prinsip dasar yang menegaskan hal ini terdapat dalam Al-Qur’an, Surah Ar-Rum (30:28), yang menyebutkan, “yakhofuna hum kakhifatikum anfusakum” – “kamu cemaskan mereka seperti kamu mencemaskan dirimu sendiri.” Pesan ini menekankan pada pentingnya kepedulian mendalam terhadap sesama, seakan-akan kesejahteraan orang lain adalah kesejahteraan diri kita sendiri.
Makna Solidaritas dalam Kehidupan Sehari-hari
Solidaritas dalam konteks ini bukanlah sekadar rasa simpati atau empati pasif, melainkan sebuah keterlibatan aktif dalam memastikan bahwa setiap anggota masyarakat, terutama yang kurang beruntung, mendapatkan hak mereka untuk hidup sejahtera. Bukan hanya bentuk belas kasih, tetapi solidaritas ini menuntut tindakan nyata.
Kecemasan terhadap nasib orang lain sebagaimana kita cemas pada nasib sendiri adalah cerminan dari keseimbangan sosial yang harus dijaga dalam masyarakat. Seperti dalam pencarian rezeki, kita semua berada dalam “wadah” yang sama—terikat dalam satu kesatuan masyarakat—sehingga kesejahteraan kita saling berkaitan.
Islam mengajarkan bahwa bentuk kepedulian ini adalah suatu kewajiban yang harus diperjuangkan oleh setiap orang yang beriman dan berpegang teguh pada jalan Allah (DINILLAH). Salah satu cara mewujudkan solidaritas ini adalah dengan memastikan agar sumber-sumber kesejahteraan masyarakat tidak dikuasai oleh segelintir orang kaya. Prinsip ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hasyr (59:7), yang memperingatkan bahwa kekayaan tidak boleh hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja.
Peran Shodaqoh dalam Pemuliaan Masyarakat
Salah satu instrumen penting dalam upaya menjaga solidaritas sosial adalah shodaqoh (sedekah). Al-Qur’an mengajarkan agar sebagian harta dari mereka yang mampu diambil untuk membantu memuliakan martabat manusia dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama yang lemah. Ini ditegaskan dalam beberapa ayat seperti Surah At-Taubah (9:60 dan 9:103), di mana Allah memerintahkan umat-Nya untuk mengalokasikan sebagian kekayaan untuk tujuan kemanusiaan.
Dengan memberikan kepada mereka yang membutuhkan, seperti kerabat, orang miskin, dan anak yatim (Surah Al-Isra 17:26, Surah Ar-Rum 30:38), kita tidak hanya meringankan beban mereka tetapi juga mengangkat harkat dan martabat masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah bentuk tolong-menolong yang dituntut dalam Islam—sebagaimana disebut dalam Surah Al-Hujurat (49:10) dan Surah Al-Maidah (5:2)—yang mencerminkan rasa tanggung jawab kolektif terhadap kesejahteraan sosial.
Kendala dalam Memahami Istilah Ghonimah dan Anfaal
Namun, dalam perjalanan menuju kesejahteraan kolektif ini, ada tantangan pemahaman. Istilah “ghonimtum” yang terdapat dalam Surah Al-Anfal (8:41), sering diterjemahkan sebagai “rampasan perang” oleh mayoritas umat Islam. Ini mengurangi pemahaman tentang kekayaan yang dikelola atau dihasilkan dari sumber-sumber lain yang bisa menjadi bagian dari pembangunan kesejahteraan masyarakat. Jika istilah ini dipahami lebih luas, bisa membuka jalan untuk pengelolaan kekayaan yang lebih inklusif. Begitu juga dengan istilah “anfaal” dan “faa-i” yang seharusnya tidak dibatasi hanya pada makna hasil perang, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dihasilkan atau didistribusikan untuk kebaikan bersama.
Kondisi Sosial yang Stabil untuk Pertumbuhan Shodaqoh
Dalam Islam, pertumbuhan dan keberlangsungan shodaqoh tidak boleh dihambat oleh kesalahpahaman atau ketidakstabilan kondisi sosial. Allah menjanjikan bahwa shodaqoh akan ditumbuhsuburkan (Surah Al-Baqarah 2:276). Ini menunjukkan pentingnya stabilitas keamanan dan sosial agar program-program yang didasarkan pada shodaqoh bisa berlanjut dengan baik dan mendukung pertumbuhan masyarakat yang lebih adil.
Pada akhirnya, solidaritas sosial yang diperintahkan dalam Al-Qur’an adalah bentuk kepedulian aktif yang dilandasi pada kecemasan terhadap nasib orang lain, sama seperti kecemasan kita terhadap diri sendiri. Program-program seperti ishlahin bainan naas (memperbaiki hubungan antar manusia) yang disebut dalam Surah An-Nisa (4:114) merupakan manifestasi dari keinginan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera. Begitu juga dengan alokasi kekayaan dan hasil pengelolaan sumber daya yang disebut dalam Surah Al-Anfal (8:41), yang seharusnya diinterpretasikan sebagai penguatan sistem pembiayaan untuk tujuan sosial.
Dalam sistem ini, pertumbuhan shodaqoh harus terus didorong agar menciptakan masyarakat yang saling peduli dan tolong-menolong, mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis, stabil, dan sejahtera.(husni fahro)