Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Fakta: Sejauh Mana Manusia Mampu Memahami Al-Qur’an?

253
×

Fakta: Sejauh Mana Manusia Mampu Memahami Al-Qur’an?

Share this article
Ilustrasi memahami Al-Qur'an (freepik.com)

ppmindonesia.com, Jakarta– Dalam sejarah peradaban Islam, upaya manusia untuk memahami Al-Qur’an telah melahirkan beragam tafsir, pendekatan, dan metode analisis. Namun, pertanyaan yang terus bergema adalah: sejauh mana manusia benar-benar mampu memahami kitab suci ini dengan segala keterbatasannya? Al-Qur’an, sebagai wahyu ilahi, diyakini mengandung kedalaman makna yang melampaui kapasitas akal manusia. Lantas, bagaimana kita menilai kemampuan manusia dalam memahami pesan ilahi ini?

Al-Qur’an sendiri memberikan peringatan dalam Surah Al-Baqarah (2:216) bahwa “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersifat terbatas, sementara pengetahuan Allah bersifat mutlak. Dengan demikian, setiap upaya untuk memahami Al-Qur’an pada dasarnya adalah pendekatan manusiawi yang tidak dapat sepenuhnya mencakup makna ilahi yang sesungguhnya.

Bahkan, Al-Qur’an dalam Surah Ali Imran (3:7) menyebutkan bahwa tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada dimensi tertentu dalam Al-Qur’an yang tetap berada di luar jangkauan manusia.

Seiring berjalannya waktu, berbagai metode tafsir pun berkembang. Para mufassir klasik seperti Imam Al-Tabari dan Imam Al-Qurtubi berusaha memahami Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan linguistik, sejarah, dan konteks pewahyuan. Di sisi lain, para pemikir modern mencoba mengintegrasikan pendekatan sosiologis, filosofis, dan ilmiah dalam memahami teks suci ini. Meski demikian, setiap metode yang digunakan tidak lepas dari subjektivitas dan keterbatasan manusia sebagai makhluk yang terikat oleh ruang dan waktu.

Dalam perspektif filsafat, dilema ini menjadi semakin menarik. Filsafat hermeneutika, misalnya, mengajukan bahwa setiap upaya interpretasi teks selalu dipengaruhi oleh pengalaman, budaya, dan sudut pandang pembacanya. Dengan kata lain, pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an tidak pernah bisa sepenuhnya bebas dari bias. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah tafsir manusia dapat dianggap valid jika selalu dipengaruhi oleh faktor eksternal?

Selain itu, ada pendekatan yang lebih menyerahkan diri kepada teks, seperti yang ditemukan dalam tradisi tasawuf. Dalam pandangan ini, manusia dipandang lebih sebagai penerima makna ilahi daripada penafsir aktif. Ibn Arabi, seorang tokoh sufi terkemuka, menyebutkan bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi lahiriah (eksoteris) dan batiniah (esoteris).

Dimensi batiniah ini hanya dapat dipahami melalui pengalaman spiritual dan penyucian diri. Dengan demikian, kemampuan manusia untuk memahami Al-Qur’an bergantung pada kedalaman spiritualitasnya, bukan semata-mata pada kemampuan intelektual.

Namun, dalam realitasnya, perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur’an sering kali memunculkan konflik di kalangan umat Islam. Tafsir-tafsir yang beragam tidak jarang digunakan untuk membenarkan pandangan kelompok tertentu atau bahkan untuk mendukung agenda politik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Al-Qur’an adalah wahyu yang sempurna, pemahaman manusia terhadapnya sering kali bersifat relatif dan terfragmentasi.

Dalam Surah An-Nahl (16:82), Al-Qur’an menyatakan bahwa tugas Rasulullah SAW hanyalah menyampaikan wahyu (balaghul mubiin). Rasulullah tidak bertindak sebagai mufassir yang memberikan interpretasi terhadap wahyu tersebut, melainkan sebagai perantara yang menyampaikan pesan Allah kepada manusia. Pernyataan ini menunjukkan bahwa posisi manusia dalam memahami Al-Qur’an seharusnya lebih bersifat menerima daripada mendominasi.

Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk bersikap rendah hati dalam menghadapi teks ilahi ini. Kesadaran akan keterbatasan akal manusia menjadi kunci untuk mendekati Al-Qur’an dengan hati yang terbuka. Dalam konteks ini, pendekatan mutawassil atau penerima makna, seperti yang dianut dalam tradisi tasawuf, dapat menjadi solusi untuk menghindari keangkuhan intelektual dalam tafsir.

Akhirnya, sejauh mana manusia mampu memahami Al-Qur’an adalah pertanyaan yang tidak memiliki jawaban mutlak. Pemahaman manusia terhadap wahyu selalu bersifat parsial dan kontekstual. Namun, dengan kerendahan hati dan ketulusan, manusia dapat mendekatkan diri kepada makna ilahi yang terkandung dalam Al-Qur’an, meskipun tidak pernah mampu sepenuhnya mencapainya. Dalam hal ini, manusia tidak hanya berperan sebagai mufassir, tetapi juga sebagai hamba yang senantiasa mencari cahaya ilahi untuk menerangi kehidupannya.(husni fahro)

Example 120x600