Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Konflik Jabariah dan Qadariyah: Akar Masalah dalam Misinterpretasi Ayat Al-Qur’an

247
×

Konflik Jabariah dan Qadariyah: Akar Masalah dalam Misinterpretasi Ayat Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com. Jakarta – Sejarah pemikiran Islam mencatat bahwa perdebatan antara Jabariah dan Qadariyah merupakan salah satu konflik teologis paling signifikan. Konflik ini tidak hanya menyangkut pemahaman tentang kehendak bebas dan takdir, tetapi juga mencerminkan berbagai pendekatan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua aliran tersebut, meskipun memiliki argumen masing-masing, menunjukkan bahwa akar persoalan utama adalah adanya misinterpretasi atau kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an.

Pandangan Jabariah dan Qadariyah

Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dan sepenuhnya tunduk pada kehendak Allah. Pandangan ini didasarkan pada ayat-ayat seperti Surah As-Saffat (37:96), yang menyebutkan bahwa “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” Bagi Jabariah, ayat ini menegaskan bahwa semua tindakan manusia sudah ditentukan oleh Allah tanpa ada campur tangan dari manusia.

Sebaliknya, Qadariyah berargumen bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Mereka mengutip ayat-ayat seperti Surah Al-Kahfi (18:29), yang menyatakan, “Maka barang siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.” Menurut Qadariyah, ayat ini menunjukkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.

Kesalahpahaman dalam Memahami Al-Qur’an

Akar konflik antara Jabariah dan Qadariyah dapat ditelusuri pada cara mereka memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian besar kesalahpahaman ini muncul karena tidak melihat ayat-ayat tersebut dalam konteks yang lebih luas.

Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk, sering kali menggunakan pendekatan yang komprehensif, di mana satu ayat saling melengkapi dengan ayat lainnya. Sayangnya, baik Jabariah maupun Qadariyah sering kali hanya berfokus pada ayat-ayat tertentu yang mendukung pandangan mereka, tanpa memperhatikan korelasi antar-ayat.

Surah Al-Baqarah (2:2) menggambarkan Al-Qur’an sebagai “petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” Petunjuk ini hanya dapat dipahami secara utuh jika seseorang mendekati Al-Qur’an dengan kerendahan hati dan kesediaan untuk mencari kebenaran, bukan untuk membenarkan pendapatnya sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam Surah Az-Zumar (39:18), “Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya,” adalah mereka yang benar-benar terbuka terhadap kebenaran.

Al-Qur’an sebagai Tafsir bagi Al-Qur’an

Salah satu solusi untuk mengatasi konflik ini adalah dengan mengadopsi metode tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an, yaitu menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penjelas bagi ayat lainnya. Metode ini menekankan bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang saling menjelaskan, sehingga tidak ada ayat yang saling bertentangan.

Dalam Surah Al-Furqan (25:33), Allah berfirman, “Mereka tidak datang kepadamu membawa sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan penjelasan yang paling baik.” Metode ini mengajarkan bahwa setiap ayat harus dilihat dalam konteks keseluruhan pesan Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ayat-ayat yang berbicara tentang kehendak Allah harus dipahami bersama dengan ayat-ayat yang menekankan tanggung jawab manusia. Dengan cara ini, dapat terlihat bahwa kehendak Allah tidak meniadakan kebebasan manusia, melainkan menempatkan kebebasan tersebut dalam kerangka kehendak-Nya yang lebih besar.

Pentingnya Kerendahan Hati dalam Menafsirkan

Kerendahan hati adalah kunci dalam memahami Al-Qur’an. Allah mengingatkan dalam Surah Ali Imran (3:7) bahwa hanya orang-orang yang “rasikhuna fil ilmi” (mendalam ilmunya) yang mampu memahami makna mutasyabihat, dan mereka pun mengatakan,

“Kami beriman kepadanya; semuanya dari sisi Tuhan kami.” Sikap seperti ini menunjukkan bahwa manusia tidak boleh sombong dalam menafsirkan wahyu Allah. Sebaliknya, mereka harus menyadari keterbatasan ilmu mereka dan selalu berusaha mencari petunjuk dari Allah.

Konflik antara Jabariah dan Qadariyah menunjukkan pentingnya pendekatan yang benar dalam memahami Al-Qur’an. Kesalahpahaman dan pemisahan ayat dari konteks keseluruhan pesan Al-Qur’an hanya akan menghasilkan perdebatan yang tidak produktif.

Dengan mengadopsi metode tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an dan mendekati wahyu dengan kerendahan hati, umat Islam dapat menghindari kesalahan interpretasi dan lebih mendalami pesan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Dalam hal ini, Al-Qur’an tidak hanya menjadi sumber cahaya yang menerangi kehidupan, tetapi juga menjadi penghubung yang mempererat persatuan umat dalam memahami kehendak ilahi.(husni fahro)

Example 120x600