ppmindonesia.com, Jakarta – Pembukaan lahan 20 juta hektar untuk pertanian yang direncanakan pemerintah merupakan langkah ambisius yang memerlukan analisis mendalam. Sebagai bangsa agraris, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia.
Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pembukaan lahan baru untuk pertanian tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan petani. Justru, langkah seperti ini sering kali lebih menguntungkan para cukong dan investor besar dibandingkan masyarakat lokal.
Polarisasi Pola Pertanian: Intensifikasi atau Ekstensifikasi?
Sejauh ini, pemerintah cenderung mengandalkan ekstensifikasi atau pembukaan lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan, seperti yang terlihat dalam proyek Food Estate. Padahal, intensifikasi, yaitu optimalisasi lahan yang sudah ada melalui teknologi modern, penggunaan bibit unggul, dan pengelolaan tanah berkelanjutan, memiliki potensi yang lebih menjanjikan.
Lahan subur di Jawa, misalnya, telah menjadi basis pertanian utama Indonesia selama puluhan tahun. Namun, kenyataannya, kesejahteraan petani di kawasan ini tidak mengalami peningkatan signifikan.
Mayoritas petani masih terjebak dalam rantai distribusi yang dikuasai oleh tengkulak dan cukong, sehingga pendapatan mereka jauh di bawah standar layak. Jika lahan yang sudah subur saja tidak mampu meningkatkan taraf hidup petani, bagaimana dengan lahan baru yang sering kali kurang subur dan membutuhkan biaya besar untuk pengolahannya?
Pola Pertanian yang Bisa Diterapkan pada Lahan Baru
Jika pemerintah tetap bersikeras membuka 20 juta hektar lahan, ada beberapa pola pertanian yang bisa diterapkan:
1. Pertanian Berbasis Agroforestri
Agroforestri mengintegrasikan tanaman pertanian dengan pohon dan tanaman lain yang dapat memperbaiki kualitas tanah serta menjaga keseimbangan ekosistem. Pola ini cocok untuk wilayah yang sebelumnya merupakan kawasan hutan karena mampu mengurangi dampak negatif deforestasi.
2. Pertanian Organik Berkelanjutan
Alih-alih menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang merusak tanah, pertanian organik dapat meningkatkan kualitas produk sekaligus menjaga kelestarian lahan. Model ini juga memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar internasional.
3. Pertanian Terpadu (Integrated Farming)
Pola ini menggabungkan pertanian, peternakan, dan perikanan dalam satu sistem. Contohnya, limbah peternakan digunakan sebagai pupuk, sedangkan hasil perikanan dapat mendukung diversifikasi pangan.
4. Pertanian Berbasis Komunitas Lokal
Pembukaan lahan baru seharusnya melibatkan masyarakat adat dan lokal sebagai aktor utama. Pola pertanian berbasis komunitas tidak hanya memastikan keberlanjutan ekosistem, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Risiko dan Tantangan Pembukaan Lahan Baru
Sejarah menunjukkan bahwa proyek besar pemerintah di sektor pertanian, seperti Food Estate di Kalimantan, sering kali gagal memberikan dampak signifikan terhadap ketahanan pangan nasional. Proyek ini justru sering menjadi arena para investor besar yang menguasai lahan dan mengambil keuntungan besar, sementara petani lokal hanya menjadi buruh.
Jika pola ini terus berulang, pembukaan lahan 20 juta hektar hanya akan menjadi ajang pembagian keuntungan bagi cukong dan korporasi besar. Petani lokal tidak akan mendapatkan manfaat berarti, apalagi jika mereka hanya disertakan sebagai pekerja tanpa akses kepemilikan lahan atau hasil produksi.
Pembukaan lahan baru juga membutuhkan biaya besar untuk infrastruktur, seperti irigasi, jalan, dan fasilitas pengolahan. Belum lagi potensi konflik agraria yang akan muncul jika pembukaan lahan ini bersinggungan dengan hak masyarakat adat atau kawasan hutan yang dilindungi.
Apakah Pembukaan Lahan Baru Menjamin Kesejahteraan Petani?
Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah: apakah pembukaan lahan baru benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan petani? Berdasarkan pengalaman masa lalu, jawabannya cenderung negatif. Selama pemerintah tidak memberdayakan petani sebagai pemilik utama hasil pertanian dan hanya menjadikan mereka buruh dalam sistem korporasi besar, kesejahteraan petani akan sulit terwujud.
Solusi Alternatif
Daripada membuka lahan baru, pemerintah seharusnya fokus pada:
1. Optimalisasi Lahan yang Sudah Ada
Menggunakan teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada, terutama di luar Pulau Jawa.
2. Reformasi Agraria
Memberikan akses kepemilikan lahan kepada petani kecil untuk mengurangi dominasi korporasi besar.
3. Perbaikan Rantai Distribusi
Memutus mata rantai tengkulak dan menciptakan akses pasar langsung bagi petani.
4. Penguatan Kelembagaan Petani
Meningkatkan daya tawar petani melalui koperasi dan organisasi berbasis komunitas.
Pembukaan 20 juta hektar lahan pertanian bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, langkah ini berpotensi meningkatkan produksi pangan dan energi nasional. Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini hanya akan memperparah krisis lingkungan, konflik agraria, dan ketimpangan sosial.
Kunci keberhasilan bukan terletak pada seberapa banyak lahan yang dibuka, melainkan bagaimana lahan yang ada dikelola secara adil, berkelanjutan, dan benar-benar memberikan manfaat bagi petani kecil sebagai tulang punggung pertanian Indonesia.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi ladang emas bagi korporasi besar, tetapi juga menjadi jalan menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat.(asyary)