ppmidonesia.com. Jakarta- Surah At-Taubah (9:33) adalah salah satu ayat Al-Qur’an yang sangat dikenal oleh umat Islam. Ayat ini sering dikutip oleh para mubaligh dalam ceramah atau khotbah sehingga menjadi akrab di telinga masyarakat. Namun, pemahaman terhadap misi kerasulan yang diusung oleh ayat ini masih memerlukan pendalaman, terutama terkait bagaimana umat Islam dapat menghadapi tantangan kehidupan dan menyatakan segala sesuatu atas nama agama secara tepat.
Jika kondisi tersebut diukur dengan pernyataan dalam Surah An-Nisa (4:65), di mana disebutkan bahwa manusia belum dianggap beriman selama mereka belum menjadikan Rasulullah sebagai hakim atas segala urusan mereka dan menerima sepenuhnya keputusan beliau, maka perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang beriman menjadi tugas yang sangat berat.
Lebih lagi, pada bagian akhir Surah At-Taubah (9:33) ditegaskan bahwa perjuangan misi kerasulan harus terus berjalan meskipun menghadapi penolakan dari kaum musyrikin (“walau karihal musyrikun”). Artinya, tantangan dari kaum musyrik tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan upaya penegakan misi kerasulan, yaitu agar agama Allah ditinggikan di atas segalanya (“liyuzhirahu ‘alad-dini kullihi”).
Untuk mewujudkan misi kerasulan ini, umat Islam diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah (2:208): “Masuklah ke dalam Islam secara total (kaffah) dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” Memasuki Islam secara kaffah berarti menjalankan ajaran Islam secara utuh, tidak parsial, dan tidak hanya sebatas pengamalan harfiah.
Hal ini ditegaskan pula dalam Surah Al-Hajj (22:11), yang menggambarkan orang-orang yang menyembah Allah secara harfiah (‘alaa harfin) sebagai golongan yang tidak memiliki kestabilan iman dan merugi di dunia maupun akhirat karena tidak istiqamah dalam keimanan.
Makna istiqamah dalam Al-Qur’an lebih luas dari sekadar “berpendirian teguh” sebagaimana pemahaman umum dalam bahasa Indonesia. Kata dasar istiqamah berasal dari “qama” yang berarti berdiri, dan istiqamah berarti usaha atau tindakan nyata untuk menegakkan apa yang telah dinyatakan.
Dalam Surah Fussilat (41:30), disebutkan bahwa orang yang menyatakan “Allah adalah Tuhan kami” lalu istiqamah, akan diberikan ketenangan oleh para malaikat sehingga mereka tidak merasa takut atau bersedih hati (“laa takhofu wala tahzanu”). Oleh karena itu, istiqamah adalah bukti nyata dari pernyataan keimanan melalui tindakan dan perjuangan yang konsisten.
Pembebasan manusia dari kerugian sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Hajj (22:11) hanya mungkin tercapai melalui pembebasan dari segala bentuk kezaliman. Surah Ibrahim (14:1) menyebutkan bahwa Allah mengutus Rasul dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (bil-huda wa dinul-haq) agar agama Allah ditinggikan.
Dengan memahami langkah-langkah penegakan misi kerasulan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, semangat untuk mempelajari dan mengamalkan agama dengan penuh kesungguhan akan semakin kuat. Hal ini sesuai dengan perintah dalam Surah Al-Hajj (22:78): “Berjuanglah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan (haqqa jihadihi).” Hanya dengan kesungguhan semacam ini seseorang berpeluang menjadi pilihan Allah dan tidak akan merasa kesulitan dalam menjalankan agama.
Ad-Dienul Haq, yang menjadi amanat bagi setiap Rasul, adalah agama fitrah Allah (fithratallah) yang atas dasar itu manusia diciptakan (Surah Ar-Rum 30:30). Agama ini tidak pernah berubah dan menjadi pondasi penciptaan manusia. Oleh karena itu, semua Rasul membawa risalah yang sama, meskipun disampaikan dalam bahasa yang berbeda sesuai dengan kaum masing-masing. Hal ini mengajarkan bahwa persatuan umat beragama tidak berarti harus menyeragamkan bahasa atau istilah agama, tetapi menyatukan ketaatan terhadap ad-dien fithratallah.
Istilah “Islam” digunakan dalam risalah Rasulullah Muhammad SAW karena beliau adalah bagian dari bangsa Arab, dan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab (qur’anan lisanan ‘arabiyyan). Namun, esensi ad-dien fithratallah tetap universal dan melampaui batasan bahasa atau istilah. Misalnya, ketika Nabi Ibrahim disebut sebagai “Muslim” dalam Al-Qur’an, itu karena risalah tersebut disampaikan dalam bahasa Arab. Dalam kitab Taurat atau Injil, istilah yang digunakan tentu berbeda, tetapi tetap merujuk pada ketaatan terhadap ad-dien fithratallah.
Persatuan umat beragama terletak pada ketaatan bersama terhadap ad-dien fithratallah dan perjuangan melawan segala bentuk gangguan atau penolakan terhadap kaidah agama ini. Perbedaan bahasa atau ritual tidak menjadi masalah selama tidak melanggar prinsip-prinsip ad-dien fithratallah. Dengan memahami dan menghormati keragaman ini, umat beragama dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu menegakkan nilai-nilai agama fitrah yang menjadi dasar penciptaan manusia. (husni fahro)