Scroll untuk baca artikel
BeritaSosial Budaya

Dinamika Kekuasaan dan Kejatuhan Majapahit: Sebuah Kajian Historis

238
×

Dinamika Kekuasaan dan Kejatuhan Majapahit: Sebuah Kajian Historis

Share this article
Ilustrasi Perang intisari.grid.id

ppmindonesia.com, JakartaKerajaan Majapahit adalah salah satu peradaban besar di Nusantara yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14 di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.

Majapahit tidak hanya dikenal sebagai kerajaan yang kaya dan berpengaruh, tetapi juga sebagai simbol persatuan wilayah Nusantara yang luas. Namun, di balik kejayaannya, Majapahit menyimpan dinamika politik yang kompleks, yang akhirnya menjadi penyebab keruntuhannya.

Kajian historis ini mengulas perjalanan dinamis Majapahit dari masa kejayaan hingga kejatuhannya, menyoroti faktor-faktor internal dan eksternal yang berkontribusi pada akhir riwayat kekuasaan besar ini.

1.Masa Kejayaan: Puncak Kekuatan Majapahit

Majapahit mencapai puncak kekuasaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350–1389). Di bawah bimbingan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh Nusantara melalui kebijakan politik dan militer yang strategis.

Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada menjadi lambang tekad untuk mempersatukan wilayah Nusantara, mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, hingga sebagian wilayah Filipina.

Kemajuan Majapahit juga didukung oleh kekuatan ekonominya yang berbasis pada perdagangan maritim.

Pelabuhan-pelabuhan Majapahit seperti Hujung Galuh menjadi pusat perdagangan internasional, menghubungkan kerajaan ini dengan pedagang dari Cina, India, hingga Timur Tengah.

Sistem administrasi yang terstruktur dan diplomasi yang cerdas menjadikan Majapahit sebagai kekuatan regional yang disegani.

2.Dinamika Kekuasaan: Awal Konflik Internal

Namun, setelah wafatnya Hayam Wuruk, Majapahit mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Dinamika kekuasaan di istana memicu konflik internal, terutama menyangkut perebutan takhta.

Salah satu titik krusial adalah Perang Paregreg (1404–1406), perang saudara yang melibatkan Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk, dan Bhre Wirabhumi, cucu Wijayarajasa yang memimpin Majapahit Timur.

Meski Wikramawardhana keluar sebagai pemenang, Perang Paregreg meninggalkan luka mendalam bagi Majapahit. Perang ini melemahkan persatuan internal dan menguras sumber daya kerajaan. Di samping itu, ketegangan antara faksi-faksi di dalam istana membuat stabilitas politik semakin sulit dipertahankan.

3.Pelepasan Daerah Bawahan

Dampak dari konflik internal semakin terlihat dengan mulai melepaskan diri daerah-daerah bawahan Majapahit. Wilayah-wilayah strategis seperti Palembang, Melayu, Malaka, dan Brunei secara bertahap menyatakan kemerdekaannya.

Selain itu, ancaman dari luar, seperti Dinasti Ming di Cina, semakin memperparah situasi. Pada tahun 1405, wilayah Kalimantan Barat bahkan jatuh ke tangan Dinasti Ming.

 

Kehilangan daerah-daerah ini tidak hanya melemahkan kekuatan militer Majapahit, tetapi juga menghancurkan ekonomi kerajaan. Jalur perdagangan yang sebelumnya dikuasai oleh Majapahit kini diambil alih oleh kerajaan-kerajaan baru seperti Malaka, yang tumbuh menjadi pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.

4.Tekanan Eksternal dan Kelemahan Militer

Tekanan dari kekuatan asing, khususnya Dinasti Ming, menambah beban bagi Majapahit. Setelah Perang Paregreg, Dinasti Ming menuntut ganti rugi kepada Wikramawardhana akibat keterlibatan warga Cina dalam konflik tersebut.

Denda sebesar 60.000 tahil perak yang dibebankan kepada Majapahit mencerminkan posisi lemah kerajaan ini di hadapan kekuatan asing.

Di sisi lain, kelemahan militer Majapahit menjadi semakin nyata. Tidak seperti masa Gajah Mada yang memiliki angkatan perang tangguh, Majapahit pada era Wikramawardhana dan penerusnya kerap mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan bekas daerah bawahannya.

Kekalahan besar seperti di Padang Sibusuk menjadi bukti bahwa Majapahit tidak lagi memiliki kemampuan militer yang signifikan.

5.Krisis Sosial dan Bencana Alam

Selain konflik internal dan tekanan eksternal, Majapahit juga menghadapi krisis sosial yang dipicu oleh bencana alam.

Pada tahun 1426, Majapahit dilanda bencana kelaparan yang meluas. Kelaparan ini tidak hanya merenggut nyawa rakyat biasa, tetapi juga anggota keluarga kerajaan seperti Bhre Tumapel, Bhre Lasem, dan Bhre Wengker.

Situasi ini memperburuk kondisi sosial-ekonomi kerajaan. Penduduk yang menderita akibat kelaparan kehilangan kepercayaan pada pemerintah pusat, sehingga semakin melemahkan otoritas Majapahit.

Bencana ini menambah tekanan pada penguasa, yang saat itu sudah kesulitan mengatasi gejolak politik dan ekonomi.

6.Krisis Kepemimpinan dan Akhir Kekuasaan Majapahit

Sepeninggal Wikramawardhana pada tahun 1427, takhta Majapahit diwariskan kepada Sri Suhita, putrinya. Sri Suhita adalah raja wanita kedua setelah Tribhuwana Tunggadewi, tetapi situasi yang sudah memburuk membuat upaya pemulihan menjadi hampir mustahil.

Konflik internal terus berlanjut, sementara kekuatan Majapahit di panggung internasional semakin pudar.

Majapahit akhirnya runtuh pada akhir abad ke-15, dengan munculnya Kesultanan Demak sebagai kekuatan baru di Jawa.

Keruntuhan ini menandai akhir era klasik di Indonesia dan membuka jalan bagi dominasi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Pelajaran dari Dinamika Majapahit

Kejayaan dan kejatuhan Majapahit adalah cerminan dari bagaimana kekuasaan besar dapat runtuh akibat kombinasi faktor internal dan eksternal.

Konflik internal, pelemahan militer, tekanan asing, dan bencana alam menjadi pemicu kehancuran Majapahit yang tidak terhindarkan.

Meski runtuh, Majapahit meninggalkan warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai bagi Nusantara. Semangat persatuan yang pernah dicetuskan oleh Gajah Mada tetap menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya, membuktikan bahwa meski sebuah kekaisaran dapat hancur, nilai-nilai yang dibangunnya akan terus hidup dalam ingatan sejarah. (asyary)

Example 120x600