Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Persatuan Umat: Bukan Keseragaman, Tapi Kedewasaan Spiritualitas

91
×

Persatuan Umat: Bukan Keseragaman, Tapi Kedewasaan Spiritualitas

Share this article

Penulis : emha | Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Ketika kita berbicara tentang persatuan umat Islam, seringkali yang muncul dalam bayangan banyak orang adalah satu bentuk keislaman yang seragam: satu tafsir, satu mazhab, satu cara beribadah. Namun, apakah itu benar-benar makna dari ukhuwwah islamiyyah yang diajarkan oleh Al-Qur’an?

 Apakah persatuan hanya dapat dicapai bila perbedaan dihapuskan? Atau justru, sebagaimana sejarah dan wahyu tunjukkan, persatuan sejati tumbuh dari kedewasaan spiritual dalam menghadapi keragaman?

Al-Qur’an menjawab dengan tegas: perbedaan adalah bagian dari kehendak Tuhan. Dalam QS. Hud ayat 118-119, Allah berfirman:

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ ۝١١٨ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَۗ وَلِذٰلِكَ خَلَقَهُمْۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ ۝١١٩

“Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”

Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman pemahaman adalah keniscayaan, dan justru rahmat Tuhan terletak pada kemampuan kita untuk hidup dalam harmoni di tengah perbedaan.

Kedewasaan Spiritualitas: Pilar Persatuan

Persatuan bukan hasil dari eliminasi perbedaan, tapi dari cara kita menyikapi perbedaan. Umat Islam bukan diperintahkan untuk sama, melainkan untuk saling memahami, bersabar, dan membangun kebaikan bersama.

Sejarawan dan cendekiawan Muslim asal India, Syed Hossein Nasr, pernah menyatakan:

“Unity in Islam does not mean uniformity. True unity stems from the central principle of Tawhid, which allows diversity to flourish under the canopy of divine oneness.”

(Tauhid sebagai prinsip utama Islam memungkinkan perbedaan berkembang tanpa menyalahi prinsip keesaan.)

Inilah yang sering luput dalam wacana umat: kita mengira bahwa menyatukan umat berarti menyeragamkan cara ibadah, manhaj dakwah, atau ekspresi keagamaan. 

Padahal, yang justru dibutuhkan adalah kedewasaan spiritual—kemampuan untuk menempatkan perbedaan pada tempatnya, tanpa kehilangan rasa hormat, kasih sayang, dan keimanan yang jernih.

Menghindari Penyakit Sektarianisme

Allah memperingatkan bahaya dari sektarianisme dalam QS. Al-An’am ayat 159:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ۝١٥٩

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun engkau (Nabi Muhammad) tidak bertanggung jawab terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) hanya kepada Allah. Kemudian, Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.

Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

Sayangnya, umat Islam hari ini justru jatuh dalam jurang yang diperingatkan ayat tersebut. Fanatisme mazhab, labelisasi kafir terhadap sesama Muslim, dan perebutan legitimasi kebenaran telah menjauhkan kita dari semangat tauhid. 

Kita lupa bahwa Allah tidak menilai kita dari kelompok atau label, tetapi dari ketakwaan dan amal saleh. Seperti disebut dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ۝١٣

” Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti

Menyemai Persatuan dari Akar Tauhid

Kita perlu membumikan kembali makna tauhid—bukan hanya sebagai doktrin teologis, tapi sebagai etika hidup dan paradigma sosial. 

Tauhid mengajarkan bahwa hanya Allah yang Mahabenar dan Mahatahu. Maka manusia tidak berhak menjadi hakim atas keimanan orang lain.

Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Perbedaan di antara manusia adalah rahmat, bukan laknat.” Pemikiran ini menunjukkan bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus ditakuti atau dilawan, melainkan dikelola dan dihargai sebagai bagian dari dinamika pertumbuhan umat.

Menuju Umat yang Dewasa dan Bersatu

Persatuan umat tidak akan lahir dari mimbar-mimbar yang hanya mengulang jargon persaudaraan sambil memelihara dendam antar golongan. Persatuan hanya bisa tumbuh dari hati-hati yang terbuka, dari pikiran yang tidak cepat menghakimi, dan dari semangat untuk saling belajar dan memperkaya diri melalui perbedaan.

Dalam dunia yang semakin terhubung, umat Islam memiliki peluang besar untuk menjadi contoh keberagaman yang bersatu. Tetapi untuk itu, kita perlu melampaui narasi permusuhan lama, dan mulai membangun jembatan antar kalangan—dengan mengedepankan kedewasaan spiritual, bukan keseragaman.

Seperti dikatakan oleh Prof. Tariq Ramadan:

“The objective is not to be the same, but to understand one another and walk together toward what is good.”

(Tujuannya bukan menjadi serupa, melainkan saling memahami dan berjalan bersama menuju kebaikan.)

Maka, mari kita perkuat ukhuwah, bukan dengan menghapus perbedaan, tetapi dengan menumbuhkan kedewasaan iman di tengahnya. 

Sebab persatuan sejati bukan tentang siapa yang benar, tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan sesama dengan penuh kasih, dalam cahaya tauhid yang mempersatukan.(emha)

Example 120x600