ppmindonesia.com.Jakarta – Presiden Prabowo Subianto baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Jaksa. Aturan ini bertujuan memberikan perlindungan bagi jaksa dalam menjalankan tugas profesionalnya. Namun, sorotan tajam muncul karena salah satu klausul penting dalam Perpres tersebut membuka pintu bagi keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan jaksa, baik secara fisik maupun non-fisik.
Keterlibatan militer dalam ranah penegakan hukum sipil bukanlah isu baru di Indonesia. Namun, sejak reformasi 1998, salah satu tonggak penting yang dijaga adalah supremasi sipil atas militer. Dalam konteks ini, munculnya Perpres 66/2025 memunculkan kembali kekhawatiran akan pelibatan militer dalam kehidupan sipil yang terlalu jauh, terlebih tanpa akuntabilitas dan batasan tegas.
Upaya Perlindungan atau Langkah Mundur?
Secara normatif, perlindungan terhadap jaksa memang dibutuhkan. Banyak kasus besar yang melibatkan jaksa berujung pada ancaman fisik, teror psikologis, bahkan kekerasan. Namun, pertanyaan krusialnya adalah: siapa yang paling tepat memberikan perlindungan itu?
Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, “Melibatkan militer dalam pengamanan sipil tanpa aturan hukum yang rigid dan batasan yang jelas bisa berujung pada penyalahgunaan kewenangan. Ini bukan hanya masalah legalitas, tapi juga soal prinsip demokrasi dan tata kelola negara yang sehat.”
Dalam Perpres ini, pelibatan TNI dilakukan dalam koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan lembaga terkait. Namun, tidak dijelaskan secara rinci bentuk pengamanan seperti apa yang dapat dilakukan oleh militer, bagaimana mekanisme akuntabilitasnya, dan sejauh mana keterlibatan mereka dibenarkan. Kekaburan ini justru menimbulkan ruang tafsir yang berbahaya.
Ketegangan antara Keamanan dan Demokrasi
Menghadirkan perlindungan terhadap aparat penegak hukum adalah tugas negara. Namun, prinsip negara hukum menuntut agar perlindungan itu tetap dalam koridor institusi yang sesuai. Kepolisian, misalnya, telah memiliki fungsi dan perangkat hukum untuk menjalankan perlindungan saksi dan aparat penegak hukum.
Jika kelembagaan ini dianggap kurang efektif, seharusnya solusinya adalah reformasi dan penguatan institusi, bukan justru melompat ke ranah militer.
Siti Zuhro, peneliti senior BRIN, mengingatkan bahwa “Demokrasi yang sehat selalu mensyaratkan pemisahan tegas antara kekuatan sipil dan kekuatan militer. Ketika institusi militer terlalu mudah masuk ke ranah sipil, yang terancam bukan hanya kebebasan warga, tetapi juga kredibilitas institusi hukum itu sendiri.”
Lebih jauh, keterlibatan TNI yang terlalu luas dalam urusan sipil juga rentan menimbulkan konflik kepentingan, ketimpangan kekuasaan, bahkan intimidasi terselubung terhadap publik atau pihak yang berhadapan dengan jaksa secara hukum.
Jalan Pintas yang Berisiko
Perpres 66/2025 tampak seperti upaya pragmatis menghadapi kompleksitas ancaman terhadap jaksa. Namun, jalan pintas seperti ini bisa menjadi bumerang jika tidak diiringi kontrol ketat dan mekanisme hukum yang kuat.
Tanpa regulasi pelaksana dan pengawasan independen, pelibatan TNI bisa mengarah pada normalisasi militer dalam urusan penegakan hukum sipil.
Padahal, reformasi 1998 telah mewariskan satu prinsip penting yang tak boleh ditawar: supremasi sipil. Penguatan hukum tidak bisa ditempuh dengan melemahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Perlindungan jaksa harus dikawal dengan pendekatan institusional yang kuat, berbasis pada sistem hukum, bukan pada kekuatan koersif militer.
Perlu Evaluasi Terbuka
Perpres 66/2025 menegaskan komitmen pemerintah terhadap perlindungan penegak hukum, tetapi juga membuka diskursus penting tentang batas-batas kewenangan militer dalam negara demokrasi.
Pemerintah seharusnya membuka ruang partisipasi publik dan masukan dari para ahli hukum, masyarakat sipil, serta lembaga pengawas untuk memastikan Perpres ini tidak menjadi celah penyalahgunaan wewenang.
Jika tidak dikaji ulang secara hati-hati, Perpres ini bukan hanya berpotensi mencederai prinsip-prinsip hukum dan demokrasi, tetapi juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap independensi kejaksaan itu sendiri. (acank)