ppmindonesia.com. Jakarta – Institur Pengambangan Masyarakat (IPAMA) tidak menjual pupuk secara langsung di pasar bebas. Kami membangun kepercayaan dan permintaan secara organik, melalui hasil nyata dan kemitraan strategis dengan petani. Berikut adalah pendekatan yang telah terbukti berhasil:
Membangun Reputasi: Tiga Pilar Utama
Reputasi adalah modal awal dalam menjual pupuk. Tiga hal ini menjadi kuncinya:
- Memiliki pabrik pupuk skala rakyat. Produksi dilakukan secara mandiri dan terstandar.
- Memiliki kebun percontohan (demplot). Ini menjadi laboratorium hidup untuk menunjukkan keunggulan pupuk secara langsung.
- Produk berkualitas tinggi. Bukan sekadar klaim, tapi terbukti meningkatkan hasil panen secara signifikan.
Demplot Dulu, Baru Bicara Pasar
Langkah awal adalah membuat demplot di lahan milik IPAMA atau mitra. Di situ kami menerapkan pupuk organik dan SOP pertanian terpadu yang telah kami susun. Hasil dari kebun percontohan ini menjadi bukti nyata.
Begitu petani melihat sendiri hasilnya—tanaman lebih sehat, panen lebih banyak—mereka datang sendiri untuk meminta pupuk. Tidak perlu kampanye atau izin jualan. Yang bekerja adalah hasil nyata dan kabar dari mulut ke mulut.
Skema Kolaboratif dengan Petani: Solusi di Tengah Keputusasaan
Mayoritas petani saat ini terjebak dalam lingkaran rugi, tanpa modal, tanpa harapan. Maka, IPAMA hadir bukan untuk menjual pupuk, tapi membangun ekosistem yang memberdayakan. Caranya:
- Petani menyumbangkan lahan dan tenaga.
- IPAMA menyediakan bibit unggul, pupuk organik, dan biaya panen.
Setelah panen, petani mengembalikan biaya produksi, lalu sisanya dibagi hasil:
- IPAMA: 40%
- Petani: 60%
(Catatan: sebelumnya, bagi hasil hanya 20% untuk IPAMA dan 80% untuk petani. Namun, karena IPAMA kini melibatkan struktur nasional, pusat, dan wilayah, proporsi disesuaikan untuk keberlanjutan bersama.)
Studi Kasus: Panen Padi dan Ledakan Kepercayaan
Pengalaman langsung Ketua IPAMA, Guntoro Soewarno, saat mengelola pertanian padi:
- Dari lahan padi, diperoleh panen 12 ton dengan penjualan Rp 76 juta.
- Biaya produksi (bibit, pupuk, panen): Rp 10 juta.
- Sisa: Rp 66 juta, lalu dibagi hasil:
- IPAMA 20% (Rp 14 juta)
- Petani 80% (Rp 52 juta)
Reaksi petani sungguh luar biasa. Ketika menerima uang Rp 52 juta, mereka menangis—karena belum pernah mendapat hasil sebesar itu dari sawah sendiri. Cerita ini menyebar ke kelurahan, kecamatan, bahkan desa tetangga.
Keesokan harinya, puluhan petani datang menawarkan 30 hektare lahan untuk dikelola bersama. Namun, dengan prinsip kehati-hatian, hanya lahan dengan sistem pengairan yang baik yang dipilih.
Ini Bukan Jualan, Ini Revolusi Pertanian
Inilah cara IPAMA “menjual” pupuk: tanpa izin resmi distribusi, tapi dengan manfaat yang sangat nyata bagi rakyat petani. Tidak ada yang lebih kuat dari testimoni hasil panen dan kesejahteraan yang meningkat.
Belajar dari Para Guru: Bisnis Pertanian Bisa Menghidupi Banyak Orang
Pengalaman Pak Bayu Diningrat—guru organik nasional, yang bisa ditemukan di banyak video YouTube—menjadi inspirasi. Ia hanya mengambil 10% bagian dari hasil panen, namun omzet bisnis pertaniannya kini mencapai Rp 3 miliar per hari, berkat kerja sama dengan ribuan petani. Bahkan muridnya di Malang, Pak Pierre, sudah mampu mencapai hasil panen hingga 30 ton per hektare.
Ayo Bangkitkan Perkebunan: Sawit, Kopi, dan Komoditas Lokal
Kini saatnya para pemilik perkebunan—baik sawit, kopi, maupun lainnya—mengadopsi model ini. Skema kolaboratif, berbasis pupuk organik dan teknologi pertanian alami, bisa menjadi jalan menuju kekayaan berjamaah. Bukan hanya sekadar bisnis, tapi gerakan pemberdayaan.
“Kita tidak sekadar menjual pupuk. Kita sedang menanam harapan dan memanen perubahan.” (Guntoro Soewarno)
Guntoro Soewarno adalah Pemilik “Ali OrganicFarm (ALO FARM) Semarang, juga Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat dan Kerjasama Antar lembaga MW Kahmi Jawa tengah. Juga Peneliti di Institut Pengembangan Masyarakat (Ipama) PPM Indonesia*