Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menjadi Religius atau Sekadar Meniru Masa Lalu?

6
×

Menjadi Religius atau Sekadar Meniru Masa Lalu?

Share this article

Penulis: husni fahro| Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Bagi sebagian orang, menjadi religius berarti berpakaian seperti orang dahulu, berbicara dengan bahasa Arab campur logat lokal, menghindari lawan jenis secara ketat, dan merujuk setiap tindak-tanduk pada gaya hidup para tokoh masa lampau. Tak jarang, agama dipraktikkan seolah seperti panggung sejarah yang terus diulang.

Namun benarkah itu inti dari religiusitas? Apakah menjadi dekat dengan Tuhan berarti mengulang tradisi masa lalu tanpa konteks?

Pertanyaan ini menjadi penting dalam dunia modern yang terus berubah. Ketika tantangan hidup semakin kompleks dan masyarakat bergerak dinamis, bentuk keberagamaan yang hanya berkutat pada reproduksi simbol dan kebiasaan zaman lampau bisa kehilangan relevansinya. 

Agama justru berisiko menjadi fosil yang didewakan, bukan jalan hidup yang dinamis dan mencerahkan.

Religiusitas: Kesadaran atau Peniruan?

Al-Qur’an tidak menuntun manusia untuk menjadi pengagum masa lalu secara membabi buta. 

Bahkan, kritik keras ditujukan kepada kaum yang hanya mengikuti nenek moyangnya tanpa mempertimbangkan apakah itu benar atau salah. Dalam QS Al-Baqarah ayat 170, Allah berfirman:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ ۝١٧٠

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 170)

Ayat ini bukan hanya kritik terhadap kekeliruan beragama masa lalu, tetapi juga peringatan bagi siapa pun yang menjadikan agama sebagai warisan budaya yang tak disentuh oleh nalar. Iman bukanlah tentang membekukan sejarah. 

Ia adalah kesadaran hidup yang hadir di setiap zaman, menjawab setiap tantangan dan realitas dengan nilai-nilai ketuhanan yang hidup.

Namun, banyak yang justru merasa aman dalam pengulangan. Meniru gaya berpakaian, cara berbicara, bahkan cara duduk para tokoh zaman dahulu dianggap sebagai bentuk puncak ketaatan. 

Padahal, tanpa disertai pemahaman, peniruan ini justru menjauhkan manusia dari hakikat spiritualitas yang ditekankan Al-Qur’an: berpikir, merenung, dan berbuat adil.

Nostalgia yang Membeku

Sosiolog asal Jerman, Max Weber, pernah mengingatkan bahwa agama yang membatu menjadi sistem simbol tanpa ruh. Ia menyebut kondisi ini sebagai “rationalization of charisma”, yaitu ketika ajaran yang semula hidup dan penuh semangat dibekukan menjadi aturan mekanistik yang kehilangan makna batin.

Dalam konteks Islam, ini terjadi ketika sunnah dijadikan sekadar rutinitas teknis, bukan inspirasi moral dan spiritual.

Hal serupa ditegaskan oleh Ali Syariati, cendekiawan Muslim asal Iran, yang menegaskan bahwa:

“Islam adalah agama pergerakan dan kesadaran, bukan agama yang membius dan memelihara tradisi kosong.”

Kritik Syariati ditujukan pada praktik keagamaan yang menjadikan agama sebagai warisan budaya yang dilestarikan hanya karena alasan sentimental, bukan karena pemahaman atas tujuan dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Al-Qur’an: Ajaran Hidup, Bukan Museum Gaya

Al-Qur’an sendiri menekankan pentingnya akal, tafakkur (merenung), dan tajdid (pembaharuan). Allah memuji orang-orang yang berpikir, bertanya, dan tidak sekadar menerima. Dalam QS Az-Zumar ayat 9, Allah menyatakan:

….قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِࣖ ۝٩

“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS. Az-Zumar: 9)

Beragama dengan akal bukan berarti meninggalkan tradisi, tetapi menempatkan tradisi dalam kerangka makna dan kesadaran. 

Menjadi religius berarti menghadirkan nilai-nilai Ilahi dalam realitas hari ini: berlaku adil, menjunjung kejujuran, menolong yang lemah, dan berpihak pada kebenaran—bukan sekadar menampilkan citra masa lalu dalam format visual dan emosional.

Menjadi Religius dalam Zaman yang Bergerak

Dalam dunia yang terus berubah, menjadi religius adalah proses dinamis. Bukan membeku dalam romantisme masa lalu, melainkan menghidupkan kembali pesan-pesan abadi dalam wajah-wajah baru yang sesuai dengan zamannya. 

Keberagamaan sejati bukan soal seberapa banyak simbol yang kita kenakan, tetapi seberapa dalam nilai-nilai agama membentuk perilaku kita di tengah masyarakat yang kompleks.

Maka, pertanyaan besarnya adalah:

Apakah kita benar-benar religius, atau hanya meniru masa lalu tanpa menyentuh hakikatnya?

Agama tidak memanggil kita untuk sekadar mengenang masa silam. Ia memanggil kita untuk menghadirkan cahaya Ilahi dalam setiap zaman, agar manusia senantiasa hidup dalam kesadaran, bukan dalam bayang-bayang sejarah.(husni fahro)

Example 120x600