ppmindonesia.com.Jakarta – Ketika perang terbuka antara Israel dan Iran meletus pada 13 Juni 2025, banyak mata dunia menoleh bukan hanya ke medan tempur di wilayah Teluk, tapi ke satu titik tenang namun menentukan di jantung kota Teheran: kantor Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Hosseini Khamenei.
Suara dari sana bukan sekadar pidato. Setiap titah, setiap kalimat yang keluar dari mulut Khamenei mengandung bobot geopolitik. Di tengah hiruk-pikuk konflik, suara dari seorang ulama berusia 85 tahun itu menggema jauh melampaui perbatasan negaranya—menggetarkan ibu kota-ibu kota dunia, dari Tel Aviv hingga Washington.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pemerintah pada 18 Juni 2025, Khamenei berbicara dengan nada tegas dan penuh keyakinan.
“Bangsa ini tidak akan pernah menyerah pada pemaksaan dari siapa pun. Amerika harus tahu bahwa setiap intervensi militer pasti akan mengakibatkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki,” ucapnya lantang, sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Kalimat itu tidak dilontarkan dalam ruang kosong. Sebaliknya, ia adalah pernyataan strategis yang sekaligus menjadi seruan ideologis, menyatukan kekuatan militer, keyakinan religius, dan harga diri nasional Iran. Di sinilah letak kekhasan Khamenei: ia bukan hanya pemimpin negara, tetapi juga penjaga ideologi, sekaligus simbol kelangsungan Revolusi Islam 1979.
Dari Mashhad Menuju Pusat Kekuasaan
Lahir di Mashhad, kota suci bagi Syiah, pada 17 Juli 1939, Khamenei tumbuh dalam tradisi keilmuan Islam yang ketat. Ia hanya satu dari sedikit ulama bergelar Ayatullah—gelar tertinggi dalam hierarki ulama Syiah—yang berhasil naik ke tampuk kekuasaan politik. Setelah wafatnya Imam Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, Khamenei diangkat sebagai Pemimpin Tertinggi pada 1989. Sejak saat itu, ia tak tergoyahkan.
Di Iran, Pemimpin Tertinggi bukan jabatan simbolik. Khamenei bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga panglima militer tertinggi, penentu arah kebijakan luar negeri, dan pengendali kekuasaan yudisial. Presiden Iran memang dipilih rakyat, namun ia tetap berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Pemimpin Tertinggi. Inilah wajah teokrasi Iran: campuran antara suara rakyat dan supremasi ulama.
Titah dan Strategi
Tak hanya mengatur urusan militer dan politik, Khamenei juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengatur etika sosial dan kehidupan pribadi warga Iran. Salah satu yang paling kontroversial adalah fatwa pada 1996 yang melarang pendidikan musik untuk anak-anak di bawah usia 16 tahun di fasilitas publik. Namun, ia juga mengeluarkan fatwa progresif—seperti pada 1999 ketika ia memperbolehkan penggunaan donor sperma dan ovum dari pihak ketiga untuk pasangan infertil, bahkan setelah donor meninggal.
Ketika perang pecah, peran Khamenei semakin krusial. Ia menjadi kompas moral sekaligus pengendali tombol militer. Dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan dia menunjuk Panglima Angkatan Bersenjata, Ketua Kehakiman, hingga Kepala Radio dan Televisi Nasional, Khamenei berada pada puncak piramida kekuasaan. Tidak heran bila pernyataannya soal “kerusakan tak bisa diperbaiki” dianggap sebagai pesan terselubung bahwa Iran siap untuk eskalasi lebih jauh jika diganggu.
Suara yang Bergema ke Dunia
Bagi sebagian kalangan, Khamenei adalah simbol konservatisme yang menghalangi demokratisasi di Iran. Namun bagi para pendukungnya, ia adalah benteng pertahanan terakhir melawan hegemoni Barat. Dalam konteks perang Israel-Iran saat ini, posisi itu menjadi lebih dari sekadar simbolik.
Dunia tidak bisa mengabaikan suara dari Teheran, karena dari sanalah keputusan besar bisa lahir—keputusan yang mungkin akan menentukan apakah api perang akan padam atau justru membesar.
Dunia kini menyaksikan, dengan napas tertahan, bagaimana seorang ulama tua di Teheran menggerakkan poros geopolitik. Dalam politik Iran, presiden bisa berganti, parlemen bisa berubah arah, tapi selama Khamenei masih hidup dan menjabat, dialah sang kompas.
Suaranya tak hanya menggema di dalam negeri, tapi juga menyusup ke rapat-rapat darurat PBB, markas NATO, dan ruang-ruang strategis para pemimpin dunia.
Sejarah telah mencatat bagaimana satu suara bisa mengubah arah zaman. Dan kali ini, suara itu datang dari Teheran—tepatnya dari Ayatullah Ali Khamenei. Dalam kobaran perang, ia berbicara. Dan dunia, mau tak mau, mendengarkan (acank)