Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Mengapa Dunia Sunni Diam Saat Iran Diserang?

3
×

Mengapa Dunia Sunni Diam Saat Iran Diserang?

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta– Ketika rudal-rudal Israel menghantam wilayah Iran dalam gelombang serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagian dunia terperangah. Namun ada yang lebih mengejutkan dari dentuman ledakan itu: diamnya dunia Muslim, khususnya negara-negara Sunni.

Tak ada gelombang solidaritas seperti ketika Gaza dibombardir. Tak ada pernyataan keras dari Liga Arab. Tak ada demonstrasi besar-besaran di kota-kota besar dunia Muslim. Bahkan negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, atau Turki, yang kerap tampil vokal dalam isu-isu Timur Tengah, memilih narasi netral—jika tidak bungkam sama sekali.

Diam yang nyaring ini memunculkan pertanyaan tajam: Mengapa Dunia Sunni diam saat Iran diserang?

Bayang-Bayang Lama: Syiah dan Sunni dalam Retakan Sejarah

Sebagian jawaban berasal dari sejarah itu sendiri. Hubungan antara Iran yang mayoritas Syiah dan negara-negara Arab Sunni telah lama tegang, bahkan sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Perpecahan awal yang bersifat politis perlahan berkembang menjadi teologis, ideologis, bahkan militeristik.

Iran dalam Revolusi Islam 1979 memproklamasikan dirinya sebagai pelindung “umat tertindas” dan pembela utama perjuangan Palestina. Namun retorika ini tak selalu diterima dengan baik oleh dunia Sunni, yang mencurigai Iran hendak menyebarkan pengaruh Syiah di dunia Islam. Ketegangan ini menjalar ke Irak, Lebanon, Suriah, hingga Yaman—membentuk poros konflik yang sarat rivalitas mazhab dan ambisi regional.

Tak heran, ketika Iran diserang, simpati dari sesama dunia Islam tak mengalir deras. Dukungan terhadap Iran seringkali dibingkai sebagai dukungan terhadap Syiah. Dan dalam lanskap sektarian yang mengeras, empati pun ikut terbelah.

Realpolitik di Atas Solidaritas

Tapi bukan hanya soal mazhab. Dalam dunia yang digerakkan oleh kepentingan nasional dan strategi keamanan, solidaritas keagamaan sering menjadi subordinat dari realpolitik.

Banyak negara Sunni kini berada dalam orbit kepentingan Amerika Serikat—sekutu utama Israel. Dukungan militer, akses teknologi, investasi, dan perlindungan keamanan membuat para pemimpin Arab lebih berhitung ketimbang bersuara. 

Menunjukkan dukungan terhadap Iran, apalagi setelah tudingan soal pengembangan senjata nuklir, bukan hanya tidak populer, tetapi bisa berdampak langsung pada hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Barat.

Beberapa negara bahkan telah menormalisasi hubungan dengan Israel secara terang-terangan melalui Abraham Accords. Di sana, Iran justru diposisikan sebagai ancaman bersama—bukan sekutu dalam perjuangan Palestina.

Iran: Pembela Palestina atau Pemain Strategis?

Perlu juga diakui bahwa dukungan Iran terhadap Palestina tidak selalu dianggap tulus oleh negara-negara Sunni. Banyak yang menilai retorika Teheran tentang pembebasan al-Quds lebih merupakan alat politik untuk memperluas pengaruhnya, membangun poros perlawanan (axis of resistance), dan menyaingi hegemoni Arab Saudi di dunia Islam.

Iran mendukung Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, dua kekuatan yang kerap berbenturan dengan Israel. 

Namun di mata sebagian elite Sunni, dukungan ini dianggap berisiko memicu ketidakstabilan regional. Bahkan, tak sedikit yang melihat Iran sebagai pihak yang justru menunggangi penderitaan rakyat Palestina demi agenda sendiri.

Kecurigaan ini kian menguat ketika konflik di Suriah pecah. Iran berdiri membela rezim Bashar al-Assad yang menindas rakyatnya sendiri. 

Fakta ini meninggalkan luka mendalam bagi banyak komunitas Sunni yang menyaksikan pembantaian saudara seiman oleh rezim yang didukung oleh Teheran.

Apakah Diam Itu Adil?

Meski bisa dipahami secara politis, diamnya dunia Sunni tetap menyisakan pertanyaan moral yang tidak mudah dijawab: Apakah kebencian ideologis dapat mengalahkan prinsip keadilan?

Dalam Surat Al-Ma’idah ayat 8, Allah memperingatkan:

…وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ…۝٨

“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”

Ayat ini seolah berbicara langsung kepada situasi kita hari ini. Bahwa dalam geopolitik yang penuh propaganda dan kutub sektarian, keadilan seharusnya tetap menjadi landasan utama—bukan kesamaan mazhab, bukan loyalitas politik.

Menolak kekerasan seharusnya tak pandang siapa pelaku dan siapa korban. Menegakkan kemanusiaan seharusnya melampaui identitas mazhab.

Saatnya Umat Melampaui Mazhab

Ketika umat Islam lebih sibuk mempertajam batas-batas ideologis ketimbang menjembatani perbedaan, maka kekuatan yang seharusnya menjadi rahmat justru berubah menjadi senjata. Ketika rudal dan konflik hanya dinilai dari siapa yang menembak dan siapa yang ditembak, bukan dari nilai kebenaran dan keadilan, maka kita semua sedang kehilangan arah.

Diamnya dunia Sunni saat Iran diserang bukan sekadar pilihan politik—ia adalah refleksi dari krisis identitas yang lebih besar. Umat ini belum selesai dengan luka sejarah, belum matang dalam menyikapi perbedaan, dan belum siap untuk mendahulukan prinsip ketimbang sekat mazhab.

Saatnya kita bertanya: Islam seperti apa yang ingin kita wariskan? Islam yang dikendalikan oleh sentimen sektarian dan hitung-hitungan geopolitik, atau Islam yang menegakkan nilai keadilan, kasih sayang, dan solidaritas atas dasar kemanusiaan? (acank)

Example 120x600